14 September 2006

ASPIRASI RAKYAT, UNTUK KONSUMSI POLITIK ATAU POLICY?

Oleh : Drs. Bernard Simamora, S.IP, MBA
Berbicara tentang aspirasi dalam demokrasi perwakilan, setidaknya melibatkan tiga pihak; pemilik aspirasi, penyerap dan pembawa/penyampai aspirasi, dan penerima akhir aspirasi (end user). Andaikan kembali ke titik nol, aspirasi paling awal dibutuhkan sebagai masukan untuk menyusun kebijakan (policy), yang bila mengakomodir aspirasi yang berkembang, kita namakan kebijakan yang aspiratif.
Tetapi aspirasi tidaklah statis. Relatif terhadap dinamika implementasi kebijakan aspiratif yang telah dibuat, aspirasi juga dinamis. Pada tahap ini, aspirasi berkembang, lebih dari sekadar bahan pembuatan kebijakan, tetapi juga sekaligus menjadi feed back (umpan balik). Kebijakan (misalnya sudah aspiratif) yang diambil, sedang atau telah diimplementasikan belum tentu konsisten aspiratif.
Sebagai stake holder utama bangsa, rakyatlah pemilik aspirasi, dan untuk mereka kebijakan-kebijakan para pemimpin bangsa dibuat, bukan untuk para pejabat – tentu saja. Disisi lain, dalam demokrasi perwakilan, aspirasi tertentu dibawa dan disampaikan oleh wakil rakyat, atau anggota/badan legislatif, yang di negara kita diperankan DPR, DPD dan DPRD.
Selanjutnya, badan legislatif ini menjadi lawan main Presiden, Gubernur, Walikota, dan Bupati (eksekutif) dalam pembuatan serta implementasi kebijakan (yang seharusnya, dengan demikian “dijamin aspiratif”). Paling tidak, eksekutif (end user aspirasi) cenderung akan mencari cara termudah mengelola bangsa, sedang legislatif di sisi sebaliknya yang seharusnya merasa ada jutaan gerbong berisi ratusan juta aspirasi untuk dipikul eksekutif.
Bila demikian, menjadi sangat relevan suatu situasi kerja di dalam mengurus negara/daerah, dimana legislatif secara dominan beroposisi dengan eksekutif. Disamping itu, menjadi sangat penting agar kelihaian, kepakaran, penguasaan teknis, dan profesionalisme anggota Dewan (DPR, DPD, DPRD) setingkat dengan skill pejabat negara. Sebelum berkuasa, PDIP (dulu PDI) dipelopori tokoh PDI Kwik Kian Gie pernah membentuk apa yang disebutnya sebagai Kabinet Bayangan, yang dalam pemahaman sederhana, ditugasi partai membayang-banyangi eksekutif. Kabinet Bayangan menjadi sesuatu yang revolusioner saat itu, dimana Soeharto masih sangat-sangat kuat. Jangankan membayang-bayangi, membayangkan Soeharto saja bisa tidak selamat kala itu.
Mengapa saat ini praktis tidak ada partai politik yang melanjutkan ide sejenis. Bahkan seharusnya, seorang anggota legislatif harus memiliki miniatur kabinet berupa tim ahli. Dengan demikian aspirasi yang diemban anggota legislatif tidak mentah-mentah dibawa ke meja pembuatan kebijakan.
Sabtu (11/6), presiden SBY membuka jalur pengaduan melalui SMS langsung ke nomor Handphone RI-1 pilihan rakyat itu. Apakah begitu banyak saluran aspirasi yang mampet saat ini sehingga RI-1 harus membuka jalur pengaduan via SMS di HP sendiri? Jelas! Boro-boro membawa aspirasi rakyat, bukankah anggota legislatif kita sibuk menelan kue APBN/APBD? Sebutlah APBD-Gate di Garut ketua DPRD, APBD-Gate Jabar yang melibatkan Eka Santosa, ketua DPRD Jabar saat itu. Belum lagi kasus-kasus pemboboloan APBN.
Jelas, saluran aspirasi rakyat telah/sedang/tadinya macet, kalau tidak disebut macet total. Jika Iwan Falls menyebut dewan legislatif sebagai tukang stempel, tukang ngantuk dan hanya bisa duduk manis ketika sidang soal rakyat, kini lebih parah lagi: tukang makan uang rakyat!
Di satu sisi, langkah SBY ada benarnya membuka jalur pengaduan lewat SMS. Meski hal itu dinilai berbagai pihak meniupkan angin sorga dan cenderung cari sensasi, sedikit masih dapat dibenarkan dari pada tidak sama sekali. Tetapi, meski pun langkah spontan SBY yang ini ada benarnya, tetap saja kental muatan politis, walaupun dicoba sebagai bahan pembuatan policy. Jika sebagai inputan bagi kebijakan, dan bukan unsur politis murni, seyogianya langkah RI-1 itu lebih dahulu dipersiapkan sistem, follow up, dan parameter bahwa pengaduan yang dikirim lewat SMS itu ada hasilnya. Alih-alih sebagai konsumsi policy langkah itu jelas kental politik.
Dengan modus yang sama dengan langkah spontan SBY tetapi bentuknya berbeda tengah berlangsung dimana-mana di seantero nusantara oleh para pejabat publik kita. Dalam Pilkada misalnya, sejumlah acara sosial dimuati dan dimanfaatkan para Calon Kepala Daerah untuk curi start kampanye. Masih segar dalam ingatan kita, bagaimana sejumlah Calon Kepala Daerah di beberapa daerah menerbitkan Al-Quran dengan sampul foto diri.
Budaya membohongi publik masih juga belum pudar dalam tingkah polah pejabat publik kita. Pada hal, telah banyak bukti bahwa ternyata kebohongan publik sangat cepat terbongkar. Rupanya para pejabat secara umum belum mengalami pergerseran paradigma, masih tetap mengganggap masyarakat sebagai kumpulan orang bodoh. Dan barangkali, mengapa pembangunan pendidikan begitu lamban dan berjalan mundur, mungkin adalah kesengajaan. Betapa tidak, pejabat yang cenderung mempertahankan posisinya, mungkin membutuhkan rakyat sebagai kumpulan orang bodoh. Sehingga bila saatnya sebuah pemikiran dan trik spontan pejabat, rakyat tidak bisa membedakan apakah itu konsumsi politik atau policy (A1) (14 Juni 2005)

Good Governance, Produk Ideal Pilkada dan Otda

Oleh : Drs. Bernard Simamora, S.IP, MBA
Kabupaten Bandung, dan di berbagai daerah masih akan melaksanakan Pilkada (pemilihan langsung kepala daerah). Kontroversi putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat yang membatalkan hasil Pilkada Depok, serta hiruk-pikuk rangkaian panjang Pilkada pada umumnya, seringkali menafikan esensinya yang utama, yakni how to produce a Good Governance.
Pilkada kiranya dapat menjadi momentum perubahan cara pandang para pemimpin, khususnya pemimpin lokal tentang pemerintahan.
Filosofi Pilkada langsung adalah kekuasaan tidaklah bersumber dari pemimpin/penguasa/pemerintah namun dari rakyat. Dan karena kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat, maka dalam masa kepemimpinannya dituntut mengutamakan kehendak rakyat, dan mampu menjalin kerjasama dengan elemen-elemen masyarakat yang menjadi sumber legitimasi politiknya. Sedangkan salah satu model pelaksanaan kekuasaan yang bertanggung jawab kepada masyarakat seperti itu adalah good governance.
Good governance atau tata kepemerintahan yang baik, sebenarnya tidak terlepas dari pengaruh arus demokratisasi yang melanda dunia, yang berefek pada timbulnya kesadaran akan keterbatasan kelembagaan formal pemerintahan dalam menjamin pemenuhan tuntutan masyarakat yang kian kompleks dan kritis. Pada intinya perspektif ini menekankan perubahan atas paradigma pembangunan yang semula lebih berpusat pada government (badan-badan yang menjalankan pemerintahan) beralih ke governance(proses interaksi kepemerintahan yang melibatkan unsur-unsur di luar struktur pemerintahan secara sinergis).
Dengan demikian good governance merujuk pada suatu sistem pengelolaan pemerintahan yang berbasis pada masyarakat (demokrasi) dimana negara atau pemerintah berbagi kekuasaan dengan masyarakat, bukan mengakumulasi kekuasaan pada dirinya sendiri secara sentralistik dan otoritaritarian. Secara spesifik sejumlah karakteristik dalam perwujudan good governance, antara lain: (1) Partisipasi Masyarakat, (2) Tegaknya Supremasi Hukum (3) Transparansi, (4) Peduli pada Stakeholder, (5) Berorientasi pada Konsensus, (6) Kesetaraan, (7) Efektifitas dan Efisiensi, (8) Akuntabilitas, dan (9)Visi Strategis. Keseluruhan karakteristik tersebutlah yang merupakan basis penilaian dalam menakar penciptaan suatu tata kepemerintahan yang baik.
Jelas bahwa good governance berhubungan dengan demokrasi, antara lain Pilkada. Maka upaya membangun good governance berarti membangun suatu bentuk interaksi yang terbuka dan saling menghargai secara timbal balik antara unsur kelembagaan pemerintah dengan unsur-unsur kelembagaan masyarakat di luarnya.
***
Dalam perspektif otonomi daerah, dengan penciptaan good governance maka tujuan fundamental yang hendak dicapai adalah membangun demokratisasi hubungan pemerintah dan masyarakat pada aras lokal. Salah satu kerangka arah dalam mewujudkan tujuan tersebut adalah bahwa pelaksanaan pemerintahan yang dibangun dan berkembang di daerah harus melibatkan dan memperkuat munculnya kontrol politik dari masyarakat.

Berkaitan kontrol politik dalam demokrasi, di samping melalui kelembagaan civil society, sebenarnya terdapat sebuah pilar kelembagaan formal dalam struktur negara yang seharusnya berfungsi kritis, yaitu: lembaga legislatif (DPR/DPRD). Dari segi konstitusional dan institusional memang fungsi kontrol adalah hal yang sudah seharusnya dimainkan oleh lembaga legislatif terhadap eksekutif, berkaitan dengan berbagai perumusan kebijakan daerah dan pelaksanaannya, termasuk peraturan daerah yang ditetapkan bersama oleh legislatif dan eksekutif sendiri.
Namun kenyataannya, peranan lembaga legislatif lokal tidak sepenuhnya dapat diharapkan dalam membangun fungsi kontrol politik yang efektif. Timbulnya kasus-kasus korupsi di kalangan anggota legislatif memperkuat anggapan tentang lemahnya peranan yang mungkin dimainkan oleh DPRD dalam membangun good governance. Apalagi dalam banyak kasus korupsi yang terungkap di daerah yang secara nyata melibatkan konspirasi sistematis antara unsur-unsur pejabat eksekutif dengan legilatif (DPRD).
Karena itu, peranan civil society secara partisipatif sebagai gerakan kontrol politik penting untuk menegaskan adanya fungsi kritis yang mungkin dilakukan masyarakat secara langsung dalam proses penyelenggaranan pemerintahan lokal. Perwujudan gerakan pilar ini antara lain melalui munculnya Ornop (Organisasi Non-Pemerintah) atau LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) beserta forum-forum kewargaan lainnya.
Kiranya pelaksanaan Pilkada hingga hasil akhirnya yang melahirkan paket kepala daerah terpilih, dapat menjadi momentum pendidikan politik tentang good governance. Khususnya buat para kandidat Pilkada dan kepala daerah yang telah berhasil terpilih, dalam mempengaruhi sikap/opini masyarakat dapat mengangkat isu ini dalam program kerja mereka, untuk menunjukkan kejelasan paradigma berpikir, kemauan dan janji dalam menciptakan perubahan mendasar dalam kerangka pengelolaan pemerintahan lokal yang berbasis partisipasi masyarakat. (A1) (08 Agustus 2005)

Pendidikan Dasar Gratis atau Kompensasi BBM Rp100.000?

Oleh : Bernard Simamora
Pemerintah terkesan terburu-buru dalam memutuskan pemberian kompensasi Bahan Bakar Minyak (BBM) Rp100.000,- untuk setiap keluarga miskin yang jumlahnya diperkirakan 15.5 juta keluarga. Tekanan defisit APBN 2005 barangkali menjadi pemicu hal ini karena hanya tinggal 3 bulan. Padahal, jika melalui perumusan yang lebih matang atau jauh-jauh hari – pada saat menetapkan APBNP dimulai kalkukasi yang lebih detail, maka kiranya Pendidikan Dasar Gratis merupakan opsi paling tepat.
Tulisan ini tidak bermaksud menyesali keputusan pemerintah mengenai kompensasi BBM akibat dari langkah penaikan harga BBM, tetapi lebih merupakan koreksi untuk masa yang akan datang.
Penyelenggaran Pendidikan Dasar atau bahkan Pendidikan Menengah secara Gratis tidaklah serumit pemberian kompensasi BBM yang ternyata cukup alot saat-saat ini. Permasalahan menggratiskan Pendidikan Dasar dan Menengah dapat memberikan gambaran yang cukup realistis melalui penggantian Sumbangan Pembiayaan Pendidikan (SPP) bagi sekitar 25 juta siswa SD, 7 juta SMP, dan 3 juta siswa SMA/SMK. Asumsikan setiap siswa dibebaskan dari SPP sebesar Rp300.000,-/tahun. Di samping itu, kesejahteraan untuk 2 juta guru diberikan tambahan rata-rata Rp3000.000,-/tahun di luar gaji PNS atau gaji dari yayasan (untuk sekolah swasta). Untuk menggantikan SPP, satu tahun negara perlu mengeluarkan Rp10,5 triliun dan untuk kesejahteraan guru diperlukan Rp6 triliun. Secara kasar, 16,5 triliun tersebut sudah cukup untuk menyelenggarakan pendidikan gratis untuk SD, SMP, dan SMA selama 1 tahun.
Cukup mengenakkan telinga ketika Menko Perekonomian Aburizal Bakrie menilai Indonesia harus memilih antara menaikkan BBM, lalu sekolah dan pelayanan kesehatan gratis atau membakar Rp60 triliun hingga 2006 karena pemerintah menyubsidi BBM. Sayangnya, opsi yang ditetapkan adalah memberikan uang tunai kepada keluarga miskin yang merupakan upaya pemiskinan jangka panjang juga.
Walau awalnya pasti menemui masalah, tetapi momen cukup tepat. Sejak tahun 1984, pemerintah mendengungkan kampanye wajib belajar. Melihat pengalaman negara industri baru (new emerging industrialized countries) di Asia Timur, disadari pembangunan suatu bangsa memerlukan sumber daya manusia dalam jumlah dan mutu yang memadai untuk mendukung pembangunan. Terlebih lagi, pembangunan masyarakat demokratis mensyaratkan manusia Indonesia yang cerdas.
Akan tetapi, meski sudah jauh-jauh hari mengampanyekan wajib belajar enam tahun hingga sembilan tahun masih belum jelas apakah Indonesia melaksanakan wajib belajar yang berarti pendidikan dapat dinikmati oleh semua anak di semua tempat. Tanpa perlu mempersoalkan terminologi wajib belajar, ambil saja bahasa yang lebih bernuansa populis tetapi realistis, Pendidikan Dasar dan Menengah secara Gratis.
Bagi pemerintah, Pendidikan Gratis terutama berimplikasi terhadap pembebasan biaya pendidikan sebagai bentuk tanggung jawab negara. Selain itu, dibutuhkan kekuatan hukum mengikat untuk mengimplementasikan Pendidikan Gratis. Pendidikan Gratis bisa terimplementasi dalam tiga kategori: perkotaan dan daerah maju, pedesaan, dan daerah miskin perkotaan. Target pencapaiannya tentu akan berbeda-beda.
Mengapa pendidikan gratis? Bagi Indonesia, jaminan akses terhadap pendidikan sesungguhnya sudah menjadi komitmen antara pemerintah dan masyarakat, seperti yang tertuang dalam UUD 1945 bahwa tujuan negara ialah mencerdaskan kehidupan bangsa. Pentingnya keadilan dalam mengakses pendidikan bermutu diperjelas dan diperinci kembali dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Pemikiran lain, dalam hubungan antara masyarakat dan negara sudah jelas ada hubungan timbal balik. Masyarakat punya tanggung jawab terhadap negara dan negara punya tanggung jawab terhadap masyarakat. Hanya saja, dalam beberapa hal hubungan ini dinilai timpang. Masyarakat dipaksa menjalankan kewajibannya, antara lain, membayar pajak, di sisi lain negara belum sepenuhnya menjalankan kewajibannya, termasuk dalam pendidikan.
Selain sebagai substitusi kompensasi BBM, pembiayaan pendidikan gratis dapat juga disinergikan dengan pendanaan dari pemerintah dan pemerintah daerah. Jika ada kesepakatan untuk melaksanakan pendidikan gratis, pada dasarnya pemerintah pusat yang harus membiayai. Hal ini karena pemerintah pusat sebagai pemegang dana publik terbesar dan birokrasinya masih sangat kuat.
Pembiayaan proses belajar sudah termasuk persiapan keterampilan, kompetensi, kesejahteraan guru , serta evaluasi hasil belajar. Peningkatan kualitas dan kesejahteraan guru merupakan kunci dari pelaksanaan wajib belajar yang bermutu. Selama ini kedua hal tersebut kurang diperhatikan dengan berbagai alasan.
Biaya fasilitas belajar (opportunity to learn) meliputi buku pelajaran, perpustakaan, gedung, laboratorium, tenaga kependidikan, dan komputer. Fasilitas belajar ini berbeda-beda kebutuhannya dan tidak harus diseragamkan.
Namun, pelaksanaan pendidikan gratis harus dengan kewaspadaan tingkat tinggi dari berbagai celah penyalahgunaan dan pengawasan. Oleh karena itu, harus hati- hati dalam menentukan model penggratisan pendidikan. Siapa yang akan ditopang? Apakah lembaga pendidikannya yang rawan kebocoran atau anaknya secara langsung dengan konsekuensi penyalahgunaan dana?
Ada pemikiran, sebaiknya dana diberikan kepada sekolah dengan konsekuensi sekolah tidak dapat lagi memungut iuran dari siswa. Untuk itu, lagi-lagi pengawasan harus diperkuat dan sekolah yang masih membebani siswa harus dikenai sanksi tegas.
Pendidikan gratis bermutu juga perlu disesuaikan dengan kondisi setempat walaupun tetap berdasarkan kualitas yang standar sehingga dalam menggratiskan pendidikan dasar, bentuk dan nilai subsidi tidak harus seragam. Selain itu, perbedaan antara sekolah swasta, negeri, madrasah, dan pesantren secara psikologis dan politis mesti dapat diatasi.
Selain itu, para pemimpin harus menyadari bahwa pendidikan itu bukan soal ekonomi atau bagi-bagi keuntungan, tetapi soal politis atau ke mana bangsa ini mau dibawa. Akhirnya, memang kembali kepada niat politik pengambil keputusan, apakah pemegang kekuasaan mau semua anak Indonesia maju? Di samping itu, jika sebagian masyarakat belum sepakat menggratiskan pendidikan, pemerintah harus mampu menjelaskannya dan mengambil resiko. Resiko kebijakan tidak populis seperti ini berimplikasi lebih positif berjangka panjang dibanding menaikkan harga BBM lalu memberikan dana subsidi tunai kepada rakyat miskin sebagai kompensasi.
Mempropagandakan istilah Keluarga Miskin saja sudah merupakan upaya pemiskinan mental di samping implikasi sekonomis secara makro. Akan tetapi, mengusung istilah Pendidikan Gratis merupakan proses pengayaan masyarakat dengan visi, semangat hidup, dan peningkatan harkat yang lebih berkelas.
Bernard Simamora, praktisi pendidikan di Bandung.

11 September 2006

Demo Buruh dan Iklim Investasi

Oleh : Bernard Simamora
Demontrasi buruh justru tidak mencapai puncaknya pada hari buruh internasional, may day tanggal 1 Mei lalu. Demo memuncak dan menjurus anarkis esok harinya, yang mencoreng inti perjuangan buruh itu sendiri. Isu kini berbelok (atau dibelokkan) kepada ketidakmurnian perjuangan buruh, ditunggangi partai yang kalah Pemilu. Respon pemerintah justru dengan kacamata politik. Tidak mau disalahkan, dicarikan kambing hitam. Memang, teknik pengalihan perhatian menjadi keahlian khusus dari tim rezim saat ini.
Sungguh, sejak isu revisi UU 13/2003, respon buruh, respon pengusaha, pertemuan tripartit, serta statemen-statemen berikutnya dari para pejabat, penanganan aparat atas demo anarkis; bila diintegralkan satu sama lain justru menjauhkan panggang dari api. Arang hangus, besi tak ngumpul. Presiden SBY sendiri mengatakan bahwa UU 13/2003 dalam status Quo, sedang menurut Menaker UU 13/2003 tetap dikaji oleh 5 Universitas. Ungkapan Menaker ini diperkuat Wapres, bahwa UU 13/2003 tetap akan dikaji ulang, apa pun yang dilakukan buruh. Sebagaimana Tajuk Pelita Indonesia dua minggu lalu, hanyalah energi negatif merevisi UU 13/2003. Sia-sia, dan malah kerugian nasional dalam berbagai hal.
Skenario dari semua ini diawali dari niat pemerintah untuk membangun iklim investasi yang kondusif. Berhubung skenario tak lengkap, pemerintah tidak mampu memprediksi yang predictible, wrong (bad) calculated, wrong (bad) response, wrong follow up, buntutnya iklim investasi memburuk dibanding sebelum isu revisi UU 13/2003 dan menjauhkan investor dari negeri ini. Menperindag Fahmi Idris mengatakan, akibat dari demo buruh pada 1-2 Mei 2006 saja pendapatan industri yang hilang sekitar Rp 800 milyar. Mana yang kondusif?
Logika pemerintah terlalu sederhana. Pemerintah berkepentingan (dengan niat mengurangi pengangguran) berencana mengajukan revisi UU 13/2003 ke DPR. Dengan demikian, pertama, production cost jangka pendek dan jangka panjang bagi pengusaha diturunkan, margin laba tinggi, dan resiko minim. Kedua, dengan sistem ketenagakerjaan outsourcing sejumlah perusahaan outsourcing menjadi sah, dan lagi, pengusaha dimudahkan memperoleh tenaga kerja murah-meriah. Dengan itu, para pengusaha, khususnya dari luar negeri mabuk kepayang untuk menanam modal di bumi Indonesia. Harapannya.
Logika linier berikutnya dari pemerintah mudah ditebak, ibarat sinetron dengan produser Punjabi. Dengan masuknya investor akan menyerap lebih banyak tenaga kerja, serta pendapatan dari pajak terdongkrak. Diharapkan juga produk yang dihasilkan investor yang mabuk kepayang itu akan menjadi komoditas ekspor, sehingga mampu menghasilkan devisa. Semua itu bisa diklaim dengan sangat baik sebagai upaya menyejahterakan rakyat. Tambahan lagi, beberapa pejabat tinggi negara ini yang memang (mantan) saudagar, yang cenderung berparadigma entrepreneur, yang bagaimana pun, secara alamiah akan memandang buruh sebagai salah satu komponen produksi. Bedanya, buruh bernyawa sedang komponen produksi lain benda mati.
Sayangnya logika buruh tidak bisa disederhanakan sesederhana logika pemerintah. Pasalnya, bagi buruh ini soal perut, soal masa depan yang tidak pasti, soal tidak adanya daya beli, dan soal pengebirian harkat dan martabat sebagai kaum pekerja yang menghidupi bangsa ini langsung-tidak langsung lewat efek domino (multiplier effect). Sebut bahwa buruh murah akan memancing investor. Tetapi, bukan satu-satunya pancing. Debirokratisasi perijinan, one stop service, shot time delivery service, Tax Holliday, bebas pungutan liar (amplop, uang minum, rokok, jatah preman, dlsb) serta kombinasinya masih sangat realible untuk menarik investor. Heran, buruh dulu yang diobok-obok.
Khusus mengenai outsourcing, memang dilematis pada era global. Tenaga kerja (naker) yang bakal terserap perusahaan outsourcing pasti lebih sedikit karena sifatnya sharing ke beanyak perusahaan, sementara tenaga kerja yang masih menganggur cukup besar. Naker outsourcing juga akan menggerogoti pekerjaan buruh yang ada sekarang yang apabila akhirnya mengalami PHK, hak-haknya akan terkebiri seandainya UU 13/2003 jadi direvisi. Selanjutnya, hak-hak naker outsourcing (baik yang sebelumnya menganggur, maupun yang PHK lalu menjadi naker outsourcing) terkebiri juga seandainya UU 13/2003 jadi direvisi. Bagaimana pun, outsourcing menyakitkan bagi buruh.
Di sisi lain, sistem ketenagakerjaan outsourcing telah menjadi trend dalam era global, yang memang melicinkan pengusaha untuk meminimalkan biaya buruh, dan menjadi daya tarik tersendiri bagi investor, khususnya investor multinasional. Masalahnya, mana yang harus didahulukan, mengorbankan buruh yang ada atau membuka lapangan kerja dulu seluas-luasnya? Bagaimana perhitungannya?. Bila lapangan kerja dibuka seluas-luasnya tetapi kehidupan buruh sehari-hari tetap tidak layak, dan tidak ada jaminan masa depannya, apa gunanya? Negara seharusnya memberi jaminan pada warganya untuk dapat hidup sejahtera.
Adalah kenyataan bahwa pemerintah sekarang ini bekerja tanpa arah yang jelas. Dalam pemerintahan Soeharto ada Repelita, ada PJPT, dan sebagainya. Pada saat Megawati menjadi presiden, ada Propenas. Pada pemerintahan sekarang, apa saja goal settingnya? Mana cetak birunya, khususnya dalam pembangunan ekonomi untuk memulihkan keterpurukan?. Menekan biaya buruh hanya satu dari ribuan komponen yang bisa diprogramkan untuk recovery ekonomi bangsa ini. Persoalannya, what the government can do? (A01) (Mei 2006)

Energi Negatif Merevisi UU 13/2003

oleh : Bernard Simamora
Ngotot merevisi Undang-Undang Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, Pemerintah akan memulai pertemuan tripartit (tiga pihak) untuk membahas draf. Pertemuan itu akan dimulai 12 April 2006 mendatang melibatkan pemerintah, serikat pekerja dan buruh, serta asosiasi pengusaha. Pemerintah tetap memandang perlu merevisi UU Ketenagakerjaan itu untuk membangun iklim investasi dan membuka lapangan kerja baru, bukan untuk menyengsarakan pekerja.
Dasarnya, menurut pemerintah, tingkat pengangguran yang sudah cukup tinggi seperti sekarang, yang menurut Badan Pusat Statistik (BPS) 10,8 juta akan menjadi snow ball atau bola salju kehidupan sosial. Untuk itu, investor diharapkan banyak masuk dan lapangan kerja semakin terbuka.
Revisi UU mencakup tentang masalah pengangkatan pekerja sebagai pekerja tetap/kontrak, tentang pesangon, dan outsourcing. Dan semua itu dimaksudkan untuk mewujudkan hubungan industrial yang positif win-win solution.
Harus diakui bahwa sesuai tujuan revisi untuk membangun iklim investasi yang dipopuliskan sebagai semangat membuat kepastian hukum bagi industrial yang kondusif di negara ini, bagaimana pun pasti melemahkan posisi pekerja.
Unsur-unsur yang diperlukan dalam membangun iklim investasi seyogianya tidak harus mengerucut menjadi masalah take home pay pekerja. Justru yang sering menjadi kendala masuknya investasi adalah masalah keamanan dalam negeri, masalah perijinan, pungutan liar, serta bentuk-bentuk ekonomi biaya tinggi lainnya.
Persoalan menjadi demikian rumit sejak rencana revisi UU 13/2003, oleh karena ditengah krisis ekonomi, yang seharusnya pekerja dikondisikan makin berdaya beli, justru hak-haknya dikebiri. Tambahan lagi, faktor-faktor lain seperti disebutkan selain ketenagakerjaan hampir tidak ada yang dibenahi secara signifikan. Barangkali malah mentalitas aparat pemerintah yang berkaitan dengan pelayanan masuknya investasi, yang harus dibenahi secara revolusioner, alih-alih ketenagakerjaan.
Bila dilihat secara proritas, mentalitas aparat, prosedur perijinan, penghilangan pungutan liar, tax hollyday, barangkali yang lebih perlu dilakukan pembenahannya. Bukan malah melempar kontroversi ketenagakerjaan yang mengagitasi demontrasi para pekerja yang mencapai ratusan ribu di seluruh tanah air. Walhasil, iklim investasi yang ingin dikondusifkan, malah menjadi “chaos” dan instabilitas akibat mobilisasi pekerja berdemonstrasi, kerugian jam produktif para pekerja, kerugian jam operasi berbagai industri yang pekerjanya berdemonstrasi. Saat ini, setelah sejauh ini, iklim investasi dipastikan meredup untuk waktu tidak kurang dari 6 bulan.
Bila saja pihak pemerintah pusat, dalam hal ini Presiden SBY, Wapres JK dan Menteri Nakertrans lebih calculated dan well predictive, maka adalah sebuah kesalahan melakukan revisi UU 13/2003 saat ini. Lebih lagi, ketika unsur-unsur lain dalam mengkondusifkan investasi yang lebih pokok belum disentuh. Seharusnya, yang menyangkut ketenagakerjaan bisa merupakan pembenaahan iklim investasi bagian terakhir. Upaya merevisi UU 13/2003 jelas menghabiskan energi sia-sia, malah energi negatif. Langkah mundur.
Seharusnya kita berkaca, mengapa pekerja kita banyak yang memilih menjadi TKI sekali pun ilegal, alih-alih bekerja di negeri sendiri. Mengapa juga para investor, di negara lain dimana TKI kita mengadu nasib, tetap berinvestasi dengan gaji pekerja yang tidak kecil.
Perlu diingat juga, bahwa tujuan utama pembangunan bangsa, termasuk pembukaan lapangan kerja melalui iklim investasi yang menarik dan kondusif, pada akhirnya adalah juga kesejahteraan rakyat, yang dalam hal ini pekerja. Bilamana kesejahteraan “relatif” tersebut dijauhkan pemerintah dari rakyatnya, maka rakyat telah menjadi varia di negara sendiri, dan investor (yang hanya sebagian kecil, atau malah warga asing) menjadi raja-raja kecil bagi rakyat Indonesia di negeri sendiri. (A01) (April 2006).

APBN/D Harus Sangkil dan Mangkus

Oleh : Dres. Bernard Simamora, S.IP, MBA
Bulan-bulan ini merupakan momen penetapan APBD di berbagai daerah Provinsi maupun Ko-kab (Kota-Kabupaten). Setelah mendapat persetujuan Mendagri, Pemprov dapat mengetok palu menetapkan APBD 2006; dan setelah mendapat persetujuan Gubernur, Pemkot-Pemkab juga dapat mengetok palu penetapan APBD 2006 daerah otonom bersangkutan. Jauh sebelumnya, pada akhir tahun 2005 telah lebih dahulu ditetapkan GBHN 2006. Tahapan berikutnya adalan penggunaan anggaran baik berupa pengeluaran rutin, belanja aparatur, belanja barang, maupun belanja modal/proyek.
Penggunaan anggaran sebagai implementasi program pemerintah pada tahun anggaran berjalan yang terurai dalam DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran), maupun DASK (Dokumen Anggaran Satuan Kerja) cendrung ngambang dan “overlap” di sana-sini, sehingga dimungkinkan pemlesetan membuat segala sesuatunya kurang efektif. Selain itu, penyelesaian pekerjaan yang tidak tepat waktu, serta banyaknya pihak yang “mengambil jatah kue anggaran” tentu mengakibatkan inefisiensi. Telah menjadi rahasia umum bahwa “pengambil jatah kue anggaran” tersebar dari hulu ke hilir sesuai aliran realisasi anggaran, dan dalam akumulasi porsi yang tidak kecil.
Di sisi lain, “kemahiran” dan “kepiawaian” para pengguna anggaran dan panitia pengadaan yang bemain di garis luar koridor peraturan perundang-undangan (playing in outline of law) yang harus dirujuk seperti Keppres No. 80/2003, berkat pengalaman bertahun-tahun dari para aparatur memoroti uang negara, akan menggerogoti juga tingkat efisiensi penggunaan anggaran.
Dari sisi program, kalau mau menembak burung jangan gunakan meriam, tapi cukup dengan ketapel atau senapan angin; Jika mau membunuh tikus cukup dengan perangkap atau racun tikus, tidak perlu mendatangkan macan. Juga harus dicegah pengalokasian anggaran yang di-gol-kan secara “atas nama rakyat”, “atas nama kesejahteraan”, dan bayak hal lainnya padahal untuk tujuan mendistribusikan uang negara sedemikian rupa sehingga pihak-pihak tertentu bisa memperkaya diri.
Intinya, penggunaan anggaran bukan saja harus efektif (sangkil) bahwa “tujuan relatif tercapai”, tetapi juga efisien (mangkus) yang berarti “tujuan dicapai secara ekonomis”.
Di tengah era transparasi dan perlunya akuntabilitas publik, kiranya berbagai pola di dalam pengelolaan anggaran Negara/Daerah sangat perlu dicermati berbagai pihak, baik oleh Perencana (Pemerintah), Penyetuju (Legislatif), Pengelola Anggaran (Pemerintah), Pengawas (Badan Pengawasan Daerah, Inspektorat Jendral), dan Pemeriksa (Badan Pemeriksa Keuangan), maupun kalangan masyarakat.
Perdebatan soal volume atau besarnya dana yang ada bukanlah topik yang relevan di tengah minimnya dana yang ada. Fokus perhatian harus bergeser pada upaya bagaimana penggunaan anggaran yang sangkil dan mangkus. Bagaimana memaksimalisasi benefit, walaupun dana yang tersedia cukup minim. Hal ini perlu dipedomani pada setiap Satker (Satuan-Satuan Kerja) pengguna anggaran. Malah, seharusnya, Satker-Satker ini perlu transparan dan tunjuk hidung, pihak mana saja para “pengambil jatah kue anggaran” yang mengakibatkan kebocoran, inefisiensi dan inefektivitas yang terjadi.
Harus diakui, bahwa penghamburan uang negara yang tidak perlu, atau urgensinya kecil namun posinya cukup besar, banyak terjadi di sana-sini. Bahwa penggunaan anggaran perlu efektif dan efisien, sebagai wacana dan pidato-pidato dari para penyelenggara negara sangat banyak terdengar. Tidak kurang, Presiden, Menteri-menteri saat penyerahan DIPA di semua Provinsi, Gubernur dan Wagub Jawa Barat mempidatokan hal itu. Namun tidak demikian halnya bila ditilik dalam tataran implementasi. Bila hal-hal ini tidak juga disadari, kita hanya bermimpi tentang terwujudnya perbaikan ekonomi, rakyat yang sejahtera, atau negara yang adil makmur (A01). (Maret 2006)

PERTANGGUNGJAWABAN APBD 2005

Oleh : Bernard Simamora

Menurut pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ditegaskan bahwa kepala daerah mempunyai kewajiban menyampaikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada pemerintah (yang lebih tinggi), dan memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat.
Pertanggungjwaban Kepada DPRD
Selanjutnya dalam Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menegaskan bahwa kepala daerah menyampaikan Raperda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir.
Perlu digarisbawahi bahwa antara Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) dan Laporan Pertanggungjawaban Pelaksanaan (LPJ) APBD sangatlah berbeda. LKPJ kepala daerah disampaikan kepada DPRD, dan dapat memuat keterangan mengenai realisasi program dan kegiatan yang telah disepakati dalam arah kebijakan umum APBD sampai akhir tahun anggaran. Sedangkan keterangan tentang realisasi atas pelaksanaan APBD disampaikan kepada DPRD setelah laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD diperiksa oleh BPK, kemudian ditetapkan sebagai Perda.
Pengelolaan keuangan negara/daerah berdasarkan tersedianya peraturan perundang-undangan yang ada sekarang membawa dampak tidak saja bagi penyelenggara negara namun juga bagi masyarakat. Sistem pengelolaan keuangan daerah yang selama ini telah berlangsung harus diubah dan diimplementasikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang baru.
Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD berupa laporan keuangan menurut Undang-undang Nomor 17 tahun 2003, terdiri dari Laporan Realisasi APBD, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan yang dilampiri dengan laporan ikhtisar realisasi kinerja dan laporan keuangan badan usaha milik daerah/perusahaan daerah. Pertanggungjawaban tersebut disusun dan disajikan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan yang mulai berlaku efektif untuk pelaporan tahun anggaran 2005.
Selanjutnya, dalam rangka pengawasan keuangan daerah, Perda tentang perhitungan APBD (Pertanggungjawaban Pelaksanaan), disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri bagi provinsi dan kepada gubernur bagi kabupaten/kota paling lambat 15 (lima belas) hari setelah ditetapkan menjadi Perda.
Secara formal, pertanggungjawaban pemerintah daerah atas pelaksanaan dan realisasi APBD telah diatur berturut-turut kepada DPRD, BPK dan Menteri Dalam Negeri bagi provinsi dan oleh Gubernur bagi kabupaten/kota. Hal-hal tersebut diatur dengan perundang-undangan yang relatif memadai. Tetapi bagaimana pun, tanpa peran serta masyarakat secara lebih intens, prosedur-prosedur tersebut tetap rawan kebocoran, KKN atau memperkaya diri sendiri para pejabat negara.
Peran Serta Masyarakat
Dalam kaitan itu, Undang-undang No 28 Tahun 1999 pasal 8 ayat (1) menegaskan bahwa peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara merupakan hak dan tanggungjawab masyarakat untuk ikut mewujudkan Penyelenggara Negara yang bersih. Selain itu, pasal 9 ayat (1) menegaskan bahwa peran serta masyarakat tersebut diwujudkan dalam bentuk hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi tentang penyelenggaraan negara; hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari Penyelenggara Negara; hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggungjawab terhadap kebijakan Penyelenggara Negara; dan hak memperoleh perlindungan hukum dalam hal melaksanakan peran serta tersebut.:
Maka berdasarkan pasal 8 ayat (1) Undang-undang No 28 Tahun 1999 dan pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, seharusnya LKPJ dan LPJ APBD tersosialisasikan dengan gamblang kepada publik/masyarakat. Dalam konteks pemerintahan daerah, bentuk dan cara bagaimana publik memperoleh informasi LKPJ dan LPJ APBD secara transparan melalui proaktivitas pemerintah tidak eksplisit diatur perundang-undangan di atas. Oleh karena itu, masyarakat harus memiliki insiatif dalam memperoleh informasi laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Selanjutnya, Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 Pasal (2) menegaskan bahwa setiap orang, Organisasi Masyarakat, atau Lembaga Swadaya Masyarakat berhak mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan terjadinya tindak pidana korupsi serta menyampaikan saran dan pendapat kepada penegak hukum.
Akhirnya, DPRD, BPK dan pemerintah harus bersinergi dengan masyarakat dalam pengawasan atas pelaksanaan dan realisasi APBD. Sebab, berpijak pada peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini, peran serta masyarakat dalam mengupayakan akuntabilitas dan transparansi penyelenggaraan pemerintahan, khususnya pemerintahan daerah, sudah mendapat tempat terhormat. (April 2006)
Bernard Simamora, pengamat sosial tinggal di Bandung.